Rabu, 05 Desember 2012

Emas Sumba untuk Siapa?


Add caption
Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur luasnya hanya 1 juta hektar. Sepersepuluh pulau ini isinya pertambangan. Proyek galian besar-besaran itu lalu mendapat reaksi warga: menuntut tambang ditutup.

Tanah hijau dan bukit-bukit di Desa Karipi, Kecamatan Lapau Wanggi Lapau Sumba menyimpan emas dan perak. Areal itu sudah lama didiami dan dikelola warga hanya untuk pertanian. Tanah-tanah adat itu lalu diinvasi alat-alat berat. Tanpa izin, tanpa permisi. Penghuni yang tinggal pun menolak.

Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba menjelaskan ihwal penolakan warga,  “Penolakan tambang itu terjadi oleh karena masyarakat merasa kenapa tiba-tiba begitu ada aktivitas pertambangan yang terjadi di areal dekat pemukiman. Kemudian, bahkan di beberapa tempat itu macam di Manupeu, itu terjadi di lokasi milik masyarakat. Itu yang pertama. Hal yang kedua, memang masyarakat sendiri mempertanyakan sampai sejauh mana pertimbangan tentang dampak lingkungan sudah dipikirkan oleh perusahaan.”

Yang Naftali maksud: PT Fathi Resources. Perusahaan berbasis di Jakarta ini mulai menginjakkan kaki di Sumba sejak 2007 lalu.

Ahli Fisika dari Universitas Indonesia, Kebamoto, menjelaskan dampak potensial akibat aktivitas pertambangan PT Fathi Resources. Putra Sumba itu menunjukkan hubungan penambangan dengan sumber air.

“Dan di daerah patahan itu selalu ada tambang mineral. Di situ tanah yang subur, di situ juga sumber air. Nah, khusus konteks Sumba, Pegunungan Wanggameti, Laiwangi, Tana Daru, Manupeu, ini adalah sumber airnya seluruh Pulau Sumba. Kenapa? Karena dari situ keluar lewat bawah tanah lalu beberapa titik di Sumba Barat, Sumba Tengah, dan sebagainya, keluar air-air itu. Nah, kalau ini airnya di sana berhenti dipakai untuk tambang, mengalir ke tempat lain, terganggu hidrologinya, maka seluruh Sumba terganggu hidrologinya. Maka, seluruh Pulau Sumba akan kekeringan memang,” jelasnya.

Argumen Kebamoto ditepis Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumba Timur, Daniel Lalupanda. Ia menjamin tak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Nah, ini yang belum kita tahu persis. Artinya, sepanjang pengamatan atau pengawasan kita, dari hasil penelitian PT Fathi itu, itu yang saya katakan tadi: Setelah selesai dia langsung melakukan penutupan-penutupan. Jadi, kalau sampai mempengaruhi mata air, saya kira sulit juga itu. Saya kira belum ada kayaknya,” imbuhnya.

Proyek yang digarap PT Fathi sesungguhnya berlangsung tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Tapi Direktur Fathi Resources, Ahmad Chandra, menganggapnya tak perlu.

“Kalau di pertambangan itu, sudah saya konsultasi dan berdasarkan pengetahuan, kalau tahap eksplorasi kita memang belum perlu amdal. Itu aturannya karena kita belum nambang. Karena kalau amdal, lokasi yang di cek yang mana belum tahu. Ini masih survei, masih penelitian. Jadi seluruhnya muter daerahnya. Amdal dibutuhkan nanti kalau ooh kita mau produksi di sini, mau nambang di sini.  Ini khan masih belum tahu mau produksi di mana. Kita khan masih umum, masih penyelidikan,” terangnya.

Selain berpotensi merusak lingkungan, pertambangan di Sumba Tengah juga mencaplok tanah Umbu Djandji. April 2011, ia berdemonstrasi bersama warga. Di tengah aksi, api berkobar, membakar peralatan tambang milik PT Fathi Resources. Sebanyak tiga orang warga lalu ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ialah Umbu Mehang, Umbu Pindingara, dan empunya tanah, Umbu Djandji. Siapa melapor bahwa mereka yang membakar?

Ihsan Asri, Jaksa Penuntut Umum PN Waikabubak mengaku tak tahu siapa sumber kasus yang diusutnya. “Siapa yang melaporkan dan sebagainya, kami tidak tahu. Yang penting, sampai di kami ada berkas perkara. Jadi, dalam bentuk berkas perkara, kami teliti dan kami yakin bisa dilimpahkan ke pengadilan berdasarkan alat bukti sementara yang menurut kami sudah cukup untuk dilimpahkan ke pengadilan, kami limpahkan,” ucapnya.

Sementara, ketiga umbu itu mengaku tak mengira bakal dijadikan tersangka. Umbu Mehang, Warga Desa Praikaroku Jangga,“Pada saat itu, Kapolsek bilang, kalau mau istirahat, pulang saja di rumah. Itu kata terakhir dari Kapolsek. Setelah itu, kami pulang, tidak apa-apa. Dua hari kemudian dipanggil menghadap, ternyata surat panggilannya itu 3 orang yang menyatakan tersangka, sebelum mengambil keterangan. Saya sebagai saksi. Setelah mengambil keterangan di Polres Sumba Barat ini, saya dinyatakan sebagai tersangka.”

Umbu Wulang, aktivis Jaringan Advokasi Tambang Sumba Timur, bersuara lantang: “ini rekayasa.”

“Dugaan yang paling kuat dari kami adalah ini untuk melemahkan perjuangan masyarakat. Untuk mengintimidasi perjuangan masyarakat secara tidak langsung. “Kalau kamu bermasalah dengan saya, saya akan tangkap kamu dan saya penjarakan seperti kasus 3 bapak ini.” Itu bagi kami upaya untuk melemahkan perjuangan masyarakat yang sampai saat ini tetap menolak pertambangan di Sumba,” tegasnya.

Umbu Mehang, Umbu Pindingara, dan Umbu Djandji menghadapi ancaman hukuman 12 tahun penjara.



  Next >>


Tidak ada komentar:

Posting Komentar