Rabu, 05 Desember 2012

Emas Sumba untuk Siapa? - Izin Usaha Dipertanyakan



Page 2 of 3

Pada 5 November 2009, PT Fathi Resources mengantongi Izin Usaha Pertambangan atau IUP dari Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. IUP terbit tanpa sosialisasi pada warga. Sontak warga marah, dan puncaknya terjadi pembakaran alat pertambangan milik perusahaan pada 6 April 2011 lalu. Ujungnya 3 umbu direkayasa menjadi tersangka.  Kepala Dinas Pertambangan Lalupanda mencoba menenangkan masyarakat dengan menyebut, “belum tentu ada penambangan emas.”

“Menurut informasi yang kita dapatkan juga dari PT Fathi sendiri, dan menurut teman-teman yang bergerak di bidang tambang, sekalipun 1 ton sampel yang kita ambil itu, belum tentu 1 gram kita dapatkan emas, kan begitu. Jadi tidak dilihat dari jumlah sampel yang kita angkat berapa ton, tapi kandungannya di dalam,” jelasnya.

Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba mengernyit curiga. Tak masuk akal baginya jika PT Fathi belum tentu dapat untung. “Saya menghubungkan dengan apa yang diucapkan oleh PT Fathi pada saat dialog dengan masyarakat di Matawai Lapawu di Desa Karipi yang merupakan salah satu titik pengeboran itu. “Kami sudah kontrak kepada pemerintah untuk melakukan pengeboran dengan kedalaman 2000 meter”. Artinya, setiap meter itu ada nilai rupiahnya. Satu jutaan kalau tidak salah. Dengan demikian, kedalaman 200-an meter itu pasti akan sekian banyak material yang diangkat. Ini saja tidak diketahui oleh pemerintah. Ini yang saya sayangkan. Pemerintah tidak mau serius untuk melihat fenomena pertambangan sebagian suatu fenomena yang mempunyai potensi merusak alam dan lingkungan,” jelasnya.

Sayang, bencana alam yang ditakutkan oleh Naftali belum menjadi prioritas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sumba Timur. Martina D. Djera, Kepala Dinas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sumba Timur menjelaskan, “Pekerjaan kita di sini juga dari prabencana, saat bencana, dan setelah bencana. Prabencana: mitigasinya kita bagaimana. Nah, ini yang sementara, saya mungkin dengan LSM, kami akan duduk bersama untuk melihat sejauh mana perkembangan dari pertambangan ini dilakukan.”

Duduk bersama? Tak ada waktu menurut Kebamoto. Pemerintah harus segera bertindak. PT Fathi Resources pasti menangguk emas,” tegas Kebamoto Ahli Fisika UI asal Sumba.  “UU No. 4 tahun 2009 mengatakan, kalau penyelidikan umum, kalau hanya mencari tahu ada emas atau tidak, itu dilakukan oleh instansi pemerintah, oleh dana pemerintah. Tidak mungkin dana perusahaan dipakai untuk sekadar mencari tahu ada emas atau tidak. Tidak ada orang kaya yang bodoh. Dia tanam uangnya, lalu kalau tidak ada uang, dia pulang, tidak mungkin. Itu namanya orang kaya yang bodoh dan tidak pernah ada.”

Naftali dan Kebamoto benar. Data situs web Hillgrove Resources mendukung dugaan mereka. Publikasi perusahaan Australia yang tunjuk PT Fathi Resources sebagai pelaksana langsung menunjukkan proyek tambang di Sumba sangat menguntungkan. Kandungan emas di tanah itu amat tinggi. Tak pelak, Aktivis JATAM Umbu Wulang khawatir, PT Fathi takkan mundur dari tanah Sumba.

“Bisa dibayangkan baru taraf eksplorasi, mereka bisa memenjarakan orang, 3 orang. Bisa dibayangkan kalau sudah masuk taraf eksploitasi. Apa yang akan mereka lakukan terhadap masyarakat kecil yang tidak punya posisi tawar dengan hukum yang notabene lebih banyak berpihak kepada orang-orang yang mungkin saja lebih banyak dekat dengan kekuasaan,” terang Umbu Wulang.

Umbu Wulang gusar karena pertambangan yang terjadi di tanah kelahirannya, justru dimulai dari rekomendasi yang diterbitkan oleh pemegang tampuk kekuasaan: mendiang Bupati Sumba Timur, Umbu Mehang Kunda. Penggantinya, Gidion Mbiliyora meneruskan rekomendasi itu.

TEMPO TV: “Jadi Bapak setuju dengan adanya aktivitas tambang?”
GIDION: Ini kan masih eksplorasi. Nah kalau eksplorasi saya setuju.”

Sesal juga disampaikan Umbu Woedy, Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia di Sumba Timur.

“Persoalan tambang ini jangan dijadikan beban yang berlebihan bagi masyarakat. Kita tau masyarakat Sumba Timur tergolong masyarakat miskin. Saat ini, ketika masyarakat ditambah lagi dengan isu tambang, bisa kita lihat, apa yang mereka dapatkan dari semua itu? Kan tidak ada. Jangan sampai kepentingan elit saja, kemudian masyarakat menjadi korban, begitu. Itu yang kita harus cermati secara bersama-sama.”

Semiskin apa orang Sumba yang tanahnya kaya emas itu?

Di Sumba, tambang memicu perpecahan sesama anggota masyarakat. PT Fathi Resources mempekerjakan sekurangnya 90 orang di titik pertambangan di Desa Karipi, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Per hari, mereka digaji 50 ribu rupiah. Tugasnya: mengangkut material bumi.

Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba membeberkan, “Barangkali untuk orang desa, 50 ribu itu besar. Tapi, itu akan habis untuk 1 hari kebutuhan. Dia tidak mempunyai dampak yang signifikan untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi. Bahkan, itu menjadi sebuah hal yang saya khawtirkan membangun mentalitas yang labil. Kemampuan untuk berusaha mereka melupakan hakekatnya sebagai petani yang hidup dengan tanah, yang harus berusaha dengan alam ini.”

Warga yang tetap menolak aktivitas pertambangan, tak tinggal diam, jelas Umbu Hunga Meha, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Katikutana, Sumba Timur. “Pada tanggal 4 agustus 2011 itu, kami melakukan demonstrasi besar-besaran di Matawai Lapawu sana. Sementara PT Fathi melakukan penambangan, pengeboran,” jelasnya.

Ratusan warga, didampingi Naftali, mendatangi lokasi pengeboran di Desa Karipi, Sumba Timur. Mereka meminta PT Fathi angkat kaki. Tapi jawaban PT Fathi: tidak mungkin, sebab mereka merasa mengantongi izin.

Sedang warga yang berunjukrasa beralasan ingin melindungi alam, sumber hidup mereka,” tegas Umbu Kalikit Nggamu, Kepala Desa Katikutana, Sumba Timur menuturkan, “Terlebih tadi, ini untuk masa depan anak cucunya kami. Apalagi sudah kelihatan dengan mata dua yang terjadi di wilayah sana. Sampai sekarang pun, kelapa sudah mati semua.”

Warga protes karena tak punya tempat mengadu. “Pihak berwajib, berdiri berseberangan,” tambah Umbu Meta Iwa, Warga Desa Katikutana, Sumba Timur,  “Ya biasa ada pengamanan sendiri, termasuk dari pak brimob, pak polisi juga ada. Nah, ini yang bikin menakutkan masyarakat. Jadi, masyarakat juga apapun yang terjadi, khusus kami di sini yang tidak mau terima dengan adanya tamabng, kami tidak mau tau. Mati pun sama saja.”

Sedang Umbu Manurara, warga Sumba Tengah, mengangguk setuju. “Saya sangat sependapat. Karena apa, laporan kami, masyarakat, juga tidak penah didengar oleh pihak keamanan. Terus kedua, kejadiannya tanggal 6 April, 8 April, saya pergi lagi melapor ke Polsek Linduwati tentang penyerobotan. Sampai saat ini, laporan kami juga tidak pernah digubris.”

Satu-satunya pejabat yang dianggap bisa menaungi warga adalah DPRD Kabupaten Sumba Timur. Amos Kulandima, anggota Komisi C yang mengurusi pertambangan mengaku kaget atas terbitnya IUP dari pemerintah daerah.

“Dengan kehadiran pertambangan di sana, maka di sana juga tidak menghasilkan apa-apa untuk masyarakat setempat. Karena di sana juga mendatangkan kemiskinan, begitu. Terutama menyangkut ekonomi masyarakat, menyangkut pendidikan, kesehatannya. Kan begitu, berefek semua. Itulah yang menjadi kesimpulan kami dari fraksi kami maupun lembaga yang ada, memberikan rekomendasi pada bupati, tembusan kepada gubernur. Tapi sampai saat ini belum ada jawaban, begitu,” papar Amos.

Sengkarut IUP antara gubernur dan bupati dalam kacamata Naftali, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba, sesungguhnya hal sepele.  “Bupati mengatakan SK ini kan gubernur yang keluarkan sehingga tidak ada kewenangan bupati. Gubernur mengatakan ini berdasarkan rekomendasi bupati, kalau setiap kali ada percapakan lepas dengan masyarakat. Nah, bagi saya ini permainan pingpong yang membingungkan masyarakat. Sebenarnya sederhana sekali, yang mengeluarkan rekomendasi itu bupati, ya tinjau kembali rekomendasinya. Masa gubernur tidak ikut untuk meninjau kembali SK-nya,” jelasnya.


<< Prev - Next >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar