Sabtu, 08 Desember 2012

Rindi Wai: Obyek Wisata Yang Belum Tersentuh


rw3.jpg
rw1.jpg
Waingapu.Com - Sumba Timur kaya akan tempat-tempat wisata. Dengan keadaan alam yang masih alami menjadikan Sumba Timur patut untuk dilirik sebagai tujuan wisata. Salah satu tempat wisata yang belum tergarap adalah Rindi Wai. Siapa yang tahu kalau di daerah sana ada sebuah danau yang terletak didataran tinggi yang dikelilingi oleh pengunungan dan hutan pohon pinang?
Team Waingapu.Com (Minggu/10/11/2007) berkunjung ke sana, untuk melihat secara dekat lokasi tersebut. Rindi Wai terletak 70 Km di sebelah timur Kota Waingapu, tepatnya di Kecamatan Rindi Umalulu. Dari Kampung Praiyawang, kami harus menempuh perjalan ke arah selatan kurang lebih 1 Km ke lokasi tersebut dan menitipkan kendaraan di salah satu rumah penduduk setempat, sebab untuk ke lokasi Rindi Wai harus ditempuh dengan berjalan kaki. Jaraknya kurang lebih 200 meter.
Di sepanjang jalan setapak yang kami lalui banyak pohon pinang yang tumbuh. Jaln setapak tersebut agak menanjak. Walaupun demikian perjalan kami tidak mengalami kesulitan karena suasana yang sejuk dan dingin, apalagi pemandangan yang tampak hanyalah warna hijau pepohonan. Daerah yang subur.

Rindi Wai yang belum terjamah
Setelah kurang lebih 10 menit berjalan kaki, kami tiba di lokasi Rindi Wai. Dari atas ketinggian, tampaklah danau Rindi Wai yang indah. Tampaknya ada segerombolan bebek liar yang berenang, dan menurut Umbu Reygen yang memandu kami, "Pada tahun 1980-an ada seorang anggota polisi yang melepas benih ikan, dan sekarang kami sering ke sini untuk memancing. Ikannya sebesar lengan manusia", demikian Umbu Reygen menceritakan kepada kami. Posisi Rindi Wai berada di tengah-tengah pengunungan. "Sumber airnya berasal dari air terjun yang terletak cukup jauh dari sini", Umbu Reygen menambahkan.
Setelah berkeliling di lokasi tersebut dan mengambil beberapa gambar, kami akhirnya kembali ke Kampung Praiyawang. Beristrahat untuk beberapa saat di rumah panggung milik keluarga Umbu Reygen. Rindi Wai menjadi alternatif wisata yang menjanjikan buat wisatawan jika saja pemerintahan Sumba Timur melihat ini sebagai aset daerah.

Jumat, 07 Desember 2012

Taman Nasional Laiwangi Wanggameti



Mungkin anda belum banyak mendengar atau bahkan belum mengetahui bahwa di pulau bagian timur Indonesia terdapat Taman Nasional Laiwangi Nasional Wanggameti yang merupakan salah satu kawasan konservasi alam di Indonesia. Suatu daerah yang memiliki keindahan bentang alam yang indah, atraksi budaya eksotis dari masyarakat Sumba yang memang belum banyak diekspos ke masyarakat luas.

Pengelolaan Kawasan


Kantor Balai Taman nasional laiwangi Wanggameti
Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia tepatnya di Pulau Sumba dan berkantor di jalan Adam Malik , Kambajawa, Km 5 Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-II/1998 tanggal 3 Agustus 1998 dengan total luas 47.014 hektar. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dimana dalam pengelolaannya dibagi menjadi dua wialayah pengelolaan yaitu Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Tabundung dan Seksi Pengelolaan Wilayah Taman Nasional (SPTN) II Matawai Lapau. Dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kawasan, tiap SPTN tersebut membawahi dua (2) Resort Pengelolaan yaitu Resort Tawui dan Resort Praingkareha dimana tugas dan tanggung jawab ke SPTN Wilayah I Tabundung. Sementara Resort Nangga dan Katikutana Resort tugas dan tanggung jawab ke Wilayah II SPTN Matawai Lapau.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 sistem pengelolaan berdasarkan zonasi terdiri dari Zona Inti, Zona Rimba dan Zona Pemanfaatan. Sementara itu, menurut Permenhut Nomor 56 tahun 2006 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 disebutkan di atas, zonasi dapat ditambahkan sesuai dengan keadaan di kawasan Taman Nasional yang relevan. Jadi Laiwangi Wanggameti Taman Nasional dalam rencana terdiri dari enam zona yaitu Zona inti, Kawasan Hutan, Zona Pemanfaatan, Agama Zone, Zona Khusus dan Zona Tradisional dengan melawan latar belakang dengan situasi dan kondisi di wilayah dan sosial budaya masyarakat. Sampai saat ini proses pembentukan zonasi telah dilakukan sampai tahap konsultasi publik dan masih menunggu proses selanjutnya di Direktorat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Visi dan Misi
TNLW manajemen visi adalah "Laiwangi Wanggameti Taman Nasional menjadi pusat konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Pulau Sumba dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat". Sementara TNLW misi manajemen yang akan berjalan pada periode 2010-2029 adalah:
1. Memastikan pemeliharaan proses ekologi di wilayah tersebut sehingga fungsinya sebagai sistem pendukung kehidupan di kawasan itu dapat berjalan secara optimal.
2. Menjamin pemeliharaan keragaman genetik dan tipe ekosistem di TNLW wilayah.
3. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam wilayah TNLW dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan rekreasi yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada peningkatan perekonomian dan kualitas hidup masyarakat.
4. Penguatan Balai TNLW kelembagaan.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder dalam TNLW manajemen.

Topografi

Pada topografi TNLW berbukit, hingga keadaan pegunungan dengan kemiringan agak curam sampai sangat curam. Topografi agak datar sampai bergelombang yang terletak di sebelah tenggara dan selatan TN Laiwangi Wanggameti, sementara yang lain memiliki topografi berbukit sampai bergunung dengan lereng agak curam untuk lereng curam. Adapun kelompok hutan Laiwangi Wanggameti termasuk dalam kelas 3 yang merupakan lereng curam sedikit (15% -25%), kelas 4 adalah lereng curam (25% -45%) dan kelas 5 adalah lereng sangat curam (≥ 45%) .


Lanskap Laiwangi Wanggameti

Iklim
Menurut Curah Hujan Pulau Sumba Peta Skala 1: 2.000.000 (Verhandelingen No.42 Map.II 1951), jenis iklim di pulau Sumba bervariasi dari C ke F. Untuk daerah curah hujan TNLW negara berkisar 100-1500 mm. Berdasarkan sistem klasifikasi hutan-Ferguson termasuk iklim Schmidth Wanggameti basah dengan kelembaban sekitar 71%.

Potensi Kawasan


Laiwangi Wanggameti adalah kawasan hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati (biodiversitas) flora dan fauna. Kelompok ini terdiri dari fauna mamalia termasuk 22 spesies, termasuk rusa (Cervus timorensis) dan babi hutan (Sus scrofa). Selain itu juga telah mengidentifikasi 72 jenis kupu-kupu, 7 macam Amphibia, dan 4 jenis reptilia. Tapi fauna liar spesies yang telah diidentifikasi di banyak daerah TNLW adalah burung, dari yang tercatat 215 spesies, ada delapan jenis di antaranya spesies endemik Sumba, seperti Julang Sumba (Aceros everetti), Kakatua Jambul jingga (Cacatua sulphurea citrinoristata ), gemak Sumba (Turnix everetti), Punai Sumba (Treron teysmani), Walik rawamanu (Ptilonopus dohertyii), Sesap madu Sumba (Nektarina buettikoferi), sikatan Sumba / sikatan Sumba (Ficedula Harteti) dan Punggok Wengi (Ninox Rudolffi).


Cacatua sulphurea citrinocristata



Parantica sp.


Grup flora termasuk Injuwatu (Pleiogynium timorensis), Kaduru (Palaquium sp), Tera (Artocarpus sp.) Lobung (Decaspermium sp.) Walakiri (Erythrina subumbrans), Mara (Tetrameles nudiflora), Wangga Kahembi (Schleira oleosa (Ficus sp.) ), Hurani (Toona sureni), Cendana (Santalum album) dan banyak lainnya.


Ficus variegata



Drymoglossi Folium



Anggrek



Mara (Tetrameles nudiflora)



Objek dan Atraksi Wisata di daerah Laiwangi Wanggameti berupa alam yang menawarkan panorama yang indah serta beberapa air terjun yaitu air terjun Laputi, air terjun, air terjun Kanabuai, air terjun Waikanabu, air terjun Kahalatau. Dan terdapat sebuah danau yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tempat yang keramat dan terdapat belut keramat “Apu”.

Anguilla marmorata


Potensi budaya yang ada di dalam maupun  di luar kawasan adalah budaya batu Megalitik berupa makam yang sangat unik dan khas dan hanya ada di pulau Sumba. Di antara batu-batu kuburan dan kepercayaan masyarakat megalitik yang masih percaya pada kekuatan alam "Marapu". Budaya masih dilakukan / ada sampai saat ini. Terdapat pula mamoli yang merupakan perhiasan khas Sumba yang terbuat dari emas dan umumnya digunakan untuk upacara masyarakat adat.


Kubur batu



Mamoli


Sumber Daya Manusia
Mengingat tujuan pengelolaan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sebagai kawasan pelestarian alam untuk tujuan pelestarian sumber daya hayati dan keseimbangan ekosistemnya sehingga diperlukan sumberdaya manusia dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Sumber daya manusia yang ada di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti terdiri dari jabatan struktural, jabatan non struktural dan fungsional dan pekerja kontrak. Kondisi jumlah karyawan pada akhir Maret 2011 sebesar 47 orang, dengan kedatangan empat non-struktural orang calon pegawai negeri dengan latar belakang pendidikan Diploma III pada April 2011 saat itu sampai sekarang total karyawan di Laiwangi Wanggameti Taman Nasional bernomor 51 orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda dan daerah asal.

Aksesibilitas
Untuk menuju Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dapat ditempuh dengan menggunakan berbagai sarana transportasi / armada. Transportasi yang tersedia untuk pengunjung meliputi:

1.      Jalan laut KM Ferry - ASDP:
Kupang-Ende-Waingapu dengan waktu tempuh ± 36-jam
Kupang-Aimere-Waingapu dengan waktu tempuh ± 32 jam.

2.   Pelni PT Pelni:
Kupang-Ende-Waingapu dengan ± 22-jam waktu perjalanan
Benoa-Waingapu dengan waktu tempuh selama ± 18 jam

3. Jalur Udara
Batavia Air: Denpasar-Kupang-Waingapu dan memakan waktu sekitar 2 jam & jadwal penerbangan setiap Senin, Rabu dan Jumat dengan biaya ± Rp 930.000,- atau $100.

Merpati Airlines: Denpasar-Waingapu dengan jadwal penerbangan Selasa, Kamis dan Sabtu dengan waktu tempuh ± 50 menit dengan biaya ± Rp 600.000,- atau $ 69

Merpati Airlines: Denpasar-Tambolaka dengan jadwal penerbangan Selasa, Kamis, Kamis dan Sabtu dengan biaya ± Rp 630.000,- atau $70. Kemudian dihubungkan oleh jalan darat dengan menggnakan travel dengan waktu tempuh sampai kota Waingapu ± 4 jam.

4. Rute menuju Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dapat dicapai melalui:


Akses jalan
Waingapu-Simpang-Simpang Praipaha-Simpang Tarimbang-Karita-Tabundung-Wudipandak -Praingkareha (± 150 km).
Waingapu-Simpang Tanarara-Kawangu-Wanggameti (± 120 km)
Waingapu-Melolo-Kananggar-Nggongi (± 150 km)      

Rabu, 05 Desember 2012

Emas Sumba untuk Siapa? - Pelanggaran Perusahaan


Page 3 of 3


Pelanggaran Perusahaan

PT Fathi Resources ternyata melakukan sejumlah pelanggaran. Tak tanggung-tanggung, tiga hukum positif dilanggarnya. Yang paling fatal: tak mengantongi AMDAL, tak memiliki izin dari menteri lingkungan, serta tak punya surat ijin pinjam kawasan hutan dari menteri kehutanan. Umbu Wulang dari Jaringan Advokasi Tambang mendesak Bupati Sumba Timur untuk segera bertindak seperti pemerintah Sumba Barat.

“Saya harus memberi apresiasi kepada Bupati Sumba Barat yang secara tegas menolak pertambangan di kabupatennya padahal jelas, di ijin PT Fathi pun, itu masuk Kabupaten Sumba Barat. Dan dia menolak, dan toh tidak bisa beroperasi di Sumba Barat. Saya pikir kami butuh pemimpin yang seperti itu,” kata Wulang.

Soal kapabilitas pemimpin, Umbu Wulang harus bersabar. Pejabat Pertambangan dan Energi Sumba Timur Daniel Lalupanda menyebut, reklamasi PT Fathi tak hanya menggunakan tanah, tapi juga menimbun lubang dengan semen. Mendengar pernyataan Daniel, Kebamoto ahli fisika asal Sumba itu tercekat.

“Eksplorasi, kalau dia bor 1 lubang bisa ditutup memang. Tapi eksploitasi kan lubang menganga yang radiusnya bisa 1 kilometer, 2 kilometer, tergantung kandungan emasnya di situ. Gimana cornya? Jadi, saya kira kita prihatin dengan ketidakkritisan dari pejabat di daerah yang menalan bulat-bulat informasi yang didapat dari siapapun dan saya kira itu salah total,” ungkapnya.

Alasan lain disodorkan pemerintah: pertambangan akan memajukan perekonomian Sumba Timur. Hillgrove Resources mengklaim, keberadaan PT Fathi Resources telah membangun aspek ekonomi masyarakat. “Itu dusta,” tegas Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba

“Mitos kalau kita berharap bahwa dengan pertambangan seperti membalik telapak tangan mengubah ekonomi, wajar ekonomi dari para daerah. Ya mungkin yang berubah cuma orang-orang yang mempunyai akses untuk itu, yang mempunyai kapital untuk itu,” imbuhnya.

Atas nama peningkatan kesejahteraan warga tanah kelahirannya, Kebamoto Ahli Fisika UI mendepak tambang dan mengusulkan solusi lain.

“Itu saya hitung tiap tahun bisa dapat 4 triliun jual kayu saja. Kita tahu sekarang Kalimantan, Sumatera, kayu kan sudah tidak ada. Mendingan Sumba ke arah sana. Tanam Pohon Mahoni, segala macam. Itu malah uangnya lebih banyak ketimbang merusak dan mungkin seterusnya kita tidak punya tanah lagi,” katanya.

Rasa-rasanya, usul Kebamoto harus didengar.

Begini bunyi sebuah petuah Sumba: “Jangan merusak tanah karena tanah ibarat ibumu, langit ibarat bapakmu. Nanti langit runtuh menimpamu, langit yang kau junjung dan tanah yang kau pijak.

[ “Ambu paruha duya natana kanadu natana beri ina munya, na awangu beri ama munya, napa natamburi dunggau awang tuda tidungu dangu tana tuda dirimu.” ]

Itu kalau Anda masih…mau dengar.



<< Prev

Emas Sumba untuk Siapa? - Izin Usaha Dipertanyakan



Page 2 of 3

Pada 5 November 2009, PT Fathi Resources mengantongi Izin Usaha Pertambangan atau IUP dari Gubernur NTT, Frans Lebu Raya. IUP terbit tanpa sosialisasi pada warga. Sontak warga marah, dan puncaknya terjadi pembakaran alat pertambangan milik perusahaan pada 6 April 2011 lalu. Ujungnya 3 umbu direkayasa menjadi tersangka.  Kepala Dinas Pertambangan Lalupanda mencoba menenangkan masyarakat dengan menyebut, “belum tentu ada penambangan emas.”

“Menurut informasi yang kita dapatkan juga dari PT Fathi sendiri, dan menurut teman-teman yang bergerak di bidang tambang, sekalipun 1 ton sampel yang kita ambil itu, belum tentu 1 gram kita dapatkan emas, kan begitu. Jadi tidak dilihat dari jumlah sampel yang kita angkat berapa ton, tapi kandungannya di dalam,” jelasnya.

Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba mengernyit curiga. Tak masuk akal baginya jika PT Fathi belum tentu dapat untung. “Saya menghubungkan dengan apa yang diucapkan oleh PT Fathi pada saat dialog dengan masyarakat di Matawai Lapawu di Desa Karipi yang merupakan salah satu titik pengeboran itu. “Kami sudah kontrak kepada pemerintah untuk melakukan pengeboran dengan kedalaman 2000 meter”. Artinya, setiap meter itu ada nilai rupiahnya. Satu jutaan kalau tidak salah. Dengan demikian, kedalaman 200-an meter itu pasti akan sekian banyak material yang diangkat. Ini saja tidak diketahui oleh pemerintah. Ini yang saya sayangkan. Pemerintah tidak mau serius untuk melihat fenomena pertambangan sebagian suatu fenomena yang mempunyai potensi merusak alam dan lingkungan,” jelasnya.

Sayang, bencana alam yang ditakutkan oleh Naftali belum menjadi prioritas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sumba Timur. Martina D. Djera, Kepala Dinas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sumba Timur menjelaskan, “Pekerjaan kita di sini juga dari prabencana, saat bencana, dan setelah bencana. Prabencana: mitigasinya kita bagaimana. Nah, ini yang sementara, saya mungkin dengan LSM, kami akan duduk bersama untuk melihat sejauh mana perkembangan dari pertambangan ini dilakukan.”

Duduk bersama? Tak ada waktu menurut Kebamoto. Pemerintah harus segera bertindak. PT Fathi Resources pasti menangguk emas,” tegas Kebamoto Ahli Fisika UI asal Sumba.  “UU No. 4 tahun 2009 mengatakan, kalau penyelidikan umum, kalau hanya mencari tahu ada emas atau tidak, itu dilakukan oleh instansi pemerintah, oleh dana pemerintah. Tidak mungkin dana perusahaan dipakai untuk sekadar mencari tahu ada emas atau tidak. Tidak ada orang kaya yang bodoh. Dia tanam uangnya, lalu kalau tidak ada uang, dia pulang, tidak mungkin. Itu namanya orang kaya yang bodoh dan tidak pernah ada.”

Naftali dan Kebamoto benar. Data situs web Hillgrove Resources mendukung dugaan mereka. Publikasi perusahaan Australia yang tunjuk PT Fathi Resources sebagai pelaksana langsung menunjukkan proyek tambang di Sumba sangat menguntungkan. Kandungan emas di tanah itu amat tinggi. Tak pelak, Aktivis JATAM Umbu Wulang khawatir, PT Fathi takkan mundur dari tanah Sumba.

“Bisa dibayangkan baru taraf eksplorasi, mereka bisa memenjarakan orang, 3 orang. Bisa dibayangkan kalau sudah masuk taraf eksploitasi. Apa yang akan mereka lakukan terhadap masyarakat kecil yang tidak punya posisi tawar dengan hukum yang notabene lebih banyak berpihak kepada orang-orang yang mungkin saja lebih banyak dekat dengan kekuasaan,” terang Umbu Wulang.

Umbu Wulang gusar karena pertambangan yang terjadi di tanah kelahirannya, justru dimulai dari rekomendasi yang diterbitkan oleh pemegang tampuk kekuasaan: mendiang Bupati Sumba Timur, Umbu Mehang Kunda. Penggantinya, Gidion Mbiliyora meneruskan rekomendasi itu.

TEMPO TV: “Jadi Bapak setuju dengan adanya aktivitas tambang?”
GIDION: Ini kan masih eksplorasi. Nah kalau eksplorasi saya setuju.”

Sesal juga disampaikan Umbu Woedy, Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia di Sumba Timur.

“Persoalan tambang ini jangan dijadikan beban yang berlebihan bagi masyarakat. Kita tau masyarakat Sumba Timur tergolong masyarakat miskin. Saat ini, ketika masyarakat ditambah lagi dengan isu tambang, bisa kita lihat, apa yang mereka dapatkan dari semua itu? Kan tidak ada. Jangan sampai kepentingan elit saja, kemudian masyarakat menjadi korban, begitu. Itu yang kita harus cermati secara bersama-sama.”

Semiskin apa orang Sumba yang tanahnya kaya emas itu?

Di Sumba, tambang memicu perpecahan sesama anggota masyarakat. PT Fathi Resources mempekerjakan sekurangnya 90 orang di titik pertambangan di Desa Karipi, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. Per hari, mereka digaji 50 ribu rupiah. Tugasnya: mengangkut material bumi.

Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba membeberkan, “Barangkali untuk orang desa, 50 ribu itu besar. Tapi, itu akan habis untuk 1 hari kebutuhan. Dia tidak mempunyai dampak yang signifikan untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi. Bahkan, itu menjadi sebuah hal yang saya khawtirkan membangun mentalitas yang labil. Kemampuan untuk berusaha mereka melupakan hakekatnya sebagai petani yang hidup dengan tanah, yang harus berusaha dengan alam ini.”

Warga yang tetap menolak aktivitas pertambangan, tak tinggal diam, jelas Umbu Hunga Meha, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Katikutana, Sumba Timur. “Pada tanggal 4 agustus 2011 itu, kami melakukan demonstrasi besar-besaran di Matawai Lapawu sana. Sementara PT Fathi melakukan penambangan, pengeboran,” jelasnya.

Ratusan warga, didampingi Naftali, mendatangi lokasi pengeboran di Desa Karipi, Sumba Timur. Mereka meminta PT Fathi angkat kaki. Tapi jawaban PT Fathi: tidak mungkin, sebab mereka merasa mengantongi izin.

Sedang warga yang berunjukrasa beralasan ingin melindungi alam, sumber hidup mereka,” tegas Umbu Kalikit Nggamu, Kepala Desa Katikutana, Sumba Timur menuturkan, “Terlebih tadi, ini untuk masa depan anak cucunya kami. Apalagi sudah kelihatan dengan mata dua yang terjadi di wilayah sana. Sampai sekarang pun, kelapa sudah mati semua.”

Warga protes karena tak punya tempat mengadu. “Pihak berwajib, berdiri berseberangan,” tambah Umbu Meta Iwa, Warga Desa Katikutana, Sumba Timur,  “Ya biasa ada pengamanan sendiri, termasuk dari pak brimob, pak polisi juga ada. Nah, ini yang bikin menakutkan masyarakat. Jadi, masyarakat juga apapun yang terjadi, khusus kami di sini yang tidak mau terima dengan adanya tamabng, kami tidak mau tau. Mati pun sama saja.”

Sedang Umbu Manurara, warga Sumba Tengah, mengangguk setuju. “Saya sangat sependapat. Karena apa, laporan kami, masyarakat, juga tidak penah didengar oleh pihak keamanan. Terus kedua, kejadiannya tanggal 6 April, 8 April, saya pergi lagi melapor ke Polsek Linduwati tentang penyerobotan. Sampai saat ini, laporan kami juga tidak pernah digubris.”

Satu-satunya pejabat yang dianggap bisa menaungi warga adalah DPRD Kabupaten Sumba Timur. Amos Kulandima, anggota Komisi C yang mengurusi pertambangan mengaku kaget atas terbitnya IUP dari pemerintah daerah.

“Dengan kehadiran pertambangan di sana, maka di sana juga tidak menghasilkan apa-apa untuk masyarakat setempat. Karena di sana juga mendatangkan kemiskinan, begitu. Terutama menyangkut ekonomi masyarakat, menyangkut pendidikan, kesehatannya. Kan begitu, berefek semua. Itulah yang menjadi kesimpulan kami dari fraksi kami maupun lembaga yang ada, memberikan rekomendasi pada bupati, tembusan kepada gubernur. Tapi sampai saat ini belum ada jawaban, begitu,” papar Amos.

Sengkarut IUP antara gubernur dan bupati dalam kacamata Naftali, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba, sesungguhnya hal sepele.  “Bupati mengatakan SK ini kan gubernur yang keluarkan sehingga tidak ada kewenangan bupati. Gubernur mengatakan ini berdasarkan rekomendasi bupati, kalau setiap kali ada percapakan lepas dengan masyarakat. Nah, bagi saya ini permainan pingpong yang membingungkan masyarakat. Sebenarnya sederhana sekali, yang mengeluarkan rekomendasi itu bupati, ya tinjau kembali rekomendasinya. Masa gubernur tidak ikut untuk meninjau kembali SK-nya,” jelasnya.


<< Prev - Next >>

Emas Sumba untuk Siapa?


Add caption
Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur luasnya hanya 1 juta hektar. Sepersepuluh pulau ini isinya pertambangan. Proyek galian besar-besaran itu lalu mendapat reaksi warga: menuntut tambang ditutup.

Tanah hijau dan bukit-bukit di Desa Karipi, Kecamatan Lapau Wanggi Lapau Sumba menyimpan emas dan perak. Areal itu sudah lama didiami dan dikelola warga hanya untuk pertanian. Tanah-tanah adat itu lalu diinvasi alat-alat berat. Tanpa izin, tanpa permisi. Penghuni yang tinggal pun menolak.

Naftali Ndjoru, Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba menjelaskan ihwal penolakan warga,  “Penolakan tambang itu terjadi oleh karena masyarakat merasa kenapa tiba-tiba begitu ada aktivitas pertambangan yang terjadi di areal dekat pemukiman. Kemudian, bahkan di beberapa tempat itu macam di Manupeu, itu terjadi di lokasi milik masyarakat. Itu yang pertama. Hal yang kedua, memang masyarakat sendiri mempertanyakan sampai sejauh mana pertimbangan tentang dampak lingkungan sudah dipikirkan oleh perusahaan.”

Yang Naftali maksud: PT Fathi Resources. Perusahaan berbasis di Jakarta ini mulai menginjakkan kaki di Sumba sejak 2007 lalu.

Ahli Fisika dari Universitas Indonesia, Kebamoto, menjelaskan dampak potensial akibat aktivitas pertambangan PT Fathi Resources. Putra Sumba itu menunjukkan hubungan penambangan dengan sumber air.

“Dan di daerah patahan itu selalu ada tambang mineral. Di situ tanah yang subur, di situ juga sumber air. Nah, khusus konteks Sumba, Pegunungan Wanggameti, Laiwangi, Tana Daru, Manupeu, ini adalah sumber airnya seluruh Pulau Sumba. Kenapa? Karena dari situ keluar lewat bawah tanah lalu beberapa titik di Sumba Barat, Sumba Tengah, dan sebagainya, keluar air-air itu. Nah, kalau ini airnya di sana berhenti dipakai untuk tambang, mengalir ke tempat lain, terganggu hidrologinya, maka seluruh Sumba terganggu hidrologinya. Maka, seluruh Pulau Sumba akan kekeringan memang,” jelasnya.

Argumen Kebamoto ditepis Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumba Timur, Daniel Lalupanda. Ia menjamin tak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Nah, ini yang belum kita tahu persis. Artinya, sepanjang pengamatan atau pengawasan kita, dari hasil penelitian PT Fathi itu, itu yang saya katakan tadi: Setelah selesai dia langsung melakukan penutupan-penutupan. Jadi, kalau sampai mempengaruhi mata air, saya kira sulit juga itu. Saya kira belum ada kayaknya,” imbuhnya.

Proyek yang digarap PT Fathi sesungguhnya berlangsung tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Tapi Direktur Fathi Resources, Ahmad Chandra, menganggapnya tak perlu.

“Kalau di pertambangan itu, sudah saya konsultasi dan berdasarkan pengetahuan, kalau tahap eksplorasi kita memang belum perlu amdal. Itu aturannya karena kita belum nambang. Karena kalau amdal, lokasi yang di cek yang mana belum tahu. Ini masih survei, masih penelitian. Jadi seluruhnya muter daerahnya. Amdal dibutuhkan nanti kalau ooh kita mau produksi di sini, mau nambang di sini.  Ini khan masih belum tahu mau produksi di mana. Kita khan masih umum, masih penyelidikan,” terangnya.

Selain berpotensi merusak lingkungan, pertambangan di Sumba Tengah juga mencaplok tanah Umbu Djandji. April 2011, ia berdemonstrasi bersama warga. Di tengah aksi, api berkobar, membakar peralatan tambang milik PT Fathi Resources. Sebanyak tiga orang warga lalu ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ialah Umbu Mehang, Umbu Pindingara, dan empunya tanah, Umbu Djandji. Siapa melapor bahwa mereka yang membakar?

Ihsan Asri, Jaksa Penuntut Umum PN Waikabubak mengaku tak tahu siapa sumber kasus yang diusutnya. “Siapa yang melaporkan dan sebagainya, kami tidak tahu. Yang penting, sampai di kami ada berkas perkara. Jadi, dalam bentuk berkas perkara, kami teliti dan kami yakin bisa dilimpahkan ke pengadilan berdasarkan alat bukti sementara yang menurut kami sudah cukup untuk dilimpahkan ke pengadilan, kami limpahkan,” ucapnya.

Sementara, ketiga umbu itu mengaku tak mengira bakal dijadikan tersangka. Umbu Mehang, Warga Desa Praikaroku Jangga,“Pada saat itu, Kapolsek bilang, kalau mau istirahat, pulang saja di rumah. Itu kata terakhir dari Kapolsek. Setelah itu, kami pulang, tidak apa-apa. Dua hari kemudian dipanggil menghadap, ternyata surat panggilannya itu 3 orang yang menyatakan tersangka, sebelum mengambil keterangan. Saya sebagai saksi. Setelah mengambil keterangan di Polres Sumba Barat ini, saya dinyatakan sebagai tersangka.”

Umbu Wulang, aktivis Jaringan Advokasi Tambang Sumba Timur, bersuara lantang: “ini rekayasa.”

“Dugaan yang paling kuat dari kami adalah ini untuk melemahkan perjuangan masyarakat. Untuk mengintimidasi perjuangan masyarakat secara tidak langsung. “Kalau kamu bermasalah dengan saya, saya akan tangkap kamu dan saya penjarakan seperti kasus 3 bapak ini.” Itu bagi kami upaya untuk melemahkan perjuangan masyarakat yang sampai saat ini tetap menolak pertambangan di Sumba,” tegasnya.

Umbu Mehang, Umbu Pindingara, dan Umbu Djandji menghadapi ancaman hukuman 12 tahun penjara.



  Next >>